Renungan Sabtu, 16 April 2016
Hari Biasa Pekan III Paskah
Warna Liturgi Putih
Satu pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.
Hari itu Minggu, 12 Mei 2013, saya bertugas weekend
pastoral di salah satu stasi di Paroki L. Memulai pagi, pengalaman sial menyambut
pagi indahku. Pikirku ini awal hari yang buruk, pasti sepanjang hari aku akan
menglami nasib sial. Benar saja, sepanjang hari pengalaman sial selalu datang
menghampiriku. Tidak seperti biasanya ketika hendak kembali dari tempat tugas
ke Seminari. Dengan ojek saya berangkat dari rumah tempat saya menginap ke
terminal bis. Sesampai di sana tidak ada bis yang hendak ke kota. Saya putuskan
ke terminal ke dua. Jarak tempuh yang jauh saya nikmati di atas sepeda motor.
Tuhan berkenan, saya mendapat bis yang hendak k kota. Sekitar 27 orang ada
dalam bis itu. Di tengah perjalanan, bis yang saya tumpangi nyaris terjun bebas
ke dalam jurang. Si Sopir hendak menghindari tabrakan dengan bis yang lain. Tak
ada kata lain, hanya ungkapan kepasrahan: “Tuhan ini munkin saatku, terimalah
jiwaku.” Teriakan histeris, cacian, doa, rintihan, semua membela malam sunyi
dan kesepian hutan. Lepas dari pengalaman itu, ungkapan Syukur kepada Tuhan pun
terucap dari bibirku.
Yohanes dalam Injil hari ini menggambarkan situasi
para murid yang mengundurkan diri ketika mendengar pengajaran Yesus tentang Roti
Hidup. Yesus mengungkapkan dirinya sebagai roti yang memberi kehidupan bagi
setiap orang yang makan roti itu. Para murid mengundurkan diri karena mereka
menganggap pengajaran Yesus ini keras. Iman dangkal para murid yang pergi itu
karena menganggap itu sebuah kanibalisme. Padahal yang dimaksudkan oleh Yesus
jauh lebih dalam. Dengan menyantap diri-Nya, seperti yang kita lakukan dalam
Ekaristi, berarti kita menyatakan kesatuan dengan Dia; Kristus di dalam kita
dan kita di dalam Dia. Sabda dan tubuh-Nya yang setiap kali kita santap,
berdaya sebagai roh dan memberi hidup kepada kita. Roh oleh karena Dia berdiam
di dalam kita. Senantiasa mendampingi kita berkat pendampingan Roh Kudus. Dan
Dia adalah hidup, sebab dalam Dia kita memperoleh hidup; baik hidup di dunia,
maupun hidup di Surga. Dia senantiasa memimpin dan membimbing hidup kita dengan
sabda dan tubuh-Nya sendiri.
Sahabatku, Yesus adalah sopir hidup saya dan kamu,
sopir hidup dan keselamatan kita. Dalam keadaan apa pun yang kita alami, bahkan
yang terburuk sekalipun, Dia akan membawa kita kepada keselamatan; membuat agar
jangan sampai kita terjun bebas lagi ke dalam jurang dosa kita; jangan sampai
kita menabrak kebaikan dan kebenaran dengan kejahatan yang kita buat sendiri.
Percayakan Yesus sebagai sopir hidupmu, dan engkau akan memperoleh keselamatan.
Biarkanlah Dia yang menghantar hidupmu untuk sampai kepada terminal abadi,
yakni Kerajaan Bapa di Surga. Kepada kita semua yang diperkenankan Bapa untuk
menikmati itu, jangan kita sia-siakan; jangan sampai kita mengundurkan diri dan
tidak lagi mengikuti Dia; melainkan berpegang teguh dalam iman serta
pengharapan bahwa hanya kepada Tuhan tujuan akhir pemberhentian hidup kita, dan
hanya dalam Dia kita memperoleh hidup yang kekal. Amin. (Fr. Yoppy Lam).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar