Kuncinya, Satu dengan Bapa di dalam Doa



31 Agustus 2016 (Hari biasa)
BcE 1Kor. 3:1-9; Mzm. 33:12-13,14-15,20-21; Luk. 4:38-44.
Warna Liturgi Hijau

Yesus membuat mujizat lagi! Kali ini, Yesus menyembuhkan ibu mertua Simon (Rasul Petrus) dari sakit demam keras. Berita mujizat itu tersebar. Dan ketika matahari terbenam (malam hari), banyak orang datang kepada Yesus dan membawa kaum keluarganya yang sakit. Yesus menyembuhkan mereka semua dengan meletakkan tangan atas mereka masing-masing. Ia juga mengusir setan-setan keluar dari orang-orang itu. Setan-setan itu berteriak kepada-Nya, "Engkau Anak Allah", dan lari tungganglanggang karena Yesus melarang mereka berbicara.

Yesus baru mulai beristirahat dari pekerjaan menyembuhkan itu pada siang hari, besoknya. Bayangkan, Yesus bekerja sepanjang malam! Ia tidak menolak seorangpun yang datang kepada-Nya memohon kesembuhan. Namun setelah bekerja sepanjang malam, Yesus selalu memiliki waktu untuk beristirahat. "Tempat yang sunyi" merupakan salah satu pilihan favorit-Nya selain "tempat yang tinggi", "bukit", "gunung," atau suatu "jalan mendaki" yang jauh dari pekerjaan "di bawah". Inilah ciri khas Yesus. Selalu ada banyak waktu untuk bercengkrama dengan keheningan, kesunyian, yang mana Ia dapat berdoa, berkontemplasi, dan bercakap-cakap dengan Bapa-Nya. Intensitas waktu "ilahi"-Nya tidak kurang dari intensitas waktu "insani"-Nya. Malahan dalam Lukas 6:12 dikatakan bahwa, "Yesus naik ke bukit untuk berdoa, dan di sana Ia berdoa kepada Allah sepanjang malam."

Itulah sebabnya karya-karya Yesus selalu mengherankan, penuh keajaiban dan mujizat. Bahkan para Rasul, murid-murid, orang banyak, dan setan sekalipun mengakui ke-Allah-an-Nya, karena Yesus selalu "menjaga kesatuan yang erat" dengan Allah.

Kitapun dapat bertumbuh dalam iman dan karya-karya belas kasih. Bahkan karya-karya itu dapat berbuah lebat hanya kalau Allah-lah yang memberi pertumbuhan. Sia-sialah kita menanam, memberi pupuk dan menyirami bibit-bibit kebaikan kalau Allah tidak menganugerahkan pertumbuhan. Kita harus meneladani Yesus yang memiliki karya-karya hebat dan berbuah lebat dengan pertama-tama bersatu dengan Allah setiap hari (melalui Ekaristi dan pengakuan dosa), berpasrah kepada Allah (memiliki waktu yang lebih dari cukup untuk berdoa), selalu setia mendengarkan Sabda-Nya (membaca dan merenungkan Kitab Suci) dan giat melakukan kehendak-Nya (karya-karya karitatif). Rasul Paulus mengingatkan kita, "...yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan." (1Kor. 3:7) Kita hanya dapat bertumbuh dan berbuahkan kasih hanya jika kita ada dalam persatuan dengan Allah yang adalah kasih. Salam damai.
(Fr Nifmasken).

Kuasa Ini Diberikan Yesus kepada Gereja



Selasa, 30 Agustus 2016 (Hari Biasa)
BcE [1Kor. 2:10b-16; Mzm. 145:8-9,10-11,12-13ab,13cd-14; Luk. 4:31-37.]
Warna Liturgi Hijau

Ada orang kerasukan setan dalam rumah ibadat di Kapernaum! Untunglah ada Yesus di sana. Namun, setan(-setan) itu mengenal siapa Yesus. Setan berteriak dengan suara keras dan mengungkapkan identitas Yesus, "Hai Engkau, Yesus orang Nazaret, apa urusan-Mu dengan kami? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah." (Luk 4:34). Ini bukan teriakan biasa. Setan sedang mengatakan "kebenaran ilahi", suatu pengakuan iman, yang juga dikatakan oleh orang-orang kudus. Natanael (Rasul Bartolomeus) juga pernah mengatakan hal ini, "Rabi, Engkau Anak Allah, ..." (Yoh. 1:49). Kefas (Rasul Petrus) juga pernah berkata kepada Yesus, "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Mat. 16:16; Mrk. 8:29; Luk. 9:20).

Setan juga mengetahui siapa itu Yesus. Setan mengenal Yesus karena "pribadi" dan "kuasa" yang Yesus miliki. Sungguh, Dia adalah "Putera Allah". Pribadi Kedua Tritunggal ini membuat setan ketakutan dan gemetar! Dengan kuasa itu pulalah Yesus mengusir mereka.

Ada 2 hal yang dapat kita pelajari:

1) Kuasa menguduskan, mengikat dan melepaskan, dan mengusir setan itu Yesus berikan sepenuhnya kepada para Rasul (Mrk. 16:17). Para Rasul yang menahbiskan para Uskup sebagai pengganti mereka mewariskan kuasa yang sama dari Tuhan Yesus. Para Uskup menahbiskan para Imam, dan juga mewariskan kuasa yang sama. Mungkin sekali banyak praktek eksorsisme (pengusiran setan) dapat dilakukan di mana saja dan di agama apa saja, tetapi Gereja Kristus selalu memiliki "kuasa penuh" dari tangan Kristus sendiri. Dan biasanya setan taat di tangan seorang Imam eksorsis yang saleh, suci dan murni.

2) Dalam Sakramen Pembaptisan kita dilepaskan Allah dari kuasa-kuasa kegelapan, kita diputuskan dari rantai dosa asal yang berasal dari si jahat. Itu berarti melalui pembaptisan, Allah mengangkat kita semua menjadi putra-putri-Nya dan anggota Gereja yang didirikan Yesus, Putera Allah. Jadi, Allah adalah Bapa kita. Dengan meterai Sakramen Pembaptisan, dan di sepanjang peziarahan hidup kita sebagai anak-anak Allah Bapa, Gereja selalu mengajari kita untuk "mengenal Allah. Yesus sendiri mengajari para Rasul dan murid-murid-Nya untuk mendoakan Bapa Kami, doa sederhana dengan makna yang amat dalam. Doa Bapa Kami datang dari pengenalan Yesus yang sungguh-sungguh terhadap Allah Bapa. Mengenal Allah merupakan suatu usaha untuk memperdalam dan mengembangkan iman melalui kasih dan harapan akan keselamatan kekal. Kita tidak hanya didorong untuk mengenal Allah, tetapi mencintai-Nya dengan segenap hati, jiwa, tenaga, perasaan, dengan seluruh hidup kita.

Jangan kalah dengan setan! Jangan sampai setan lebih mengenal Allah dan Yesus Kristus Putera-Nya daripada kita sendiri!

Apa kata dunia? (Fr. Nifmasken).

Yohanes Pembaptis, ‘Yang Kecil’ di Hadapan Allah



29 Agustus Peringatan Wajib Wafatnya St. Yohanes Pembaptis
Yer. 1:17-19; Mzm. 71:1-2,3-4a,5-6ab,15ab,17; Mrk. 6:17-29.
Warna Liturgi Merah

Salah seorang Imam pembina kami suatu saat mensharingkan para kudus kesukaannya. Ia seolah-olah "memberi peringkat" kepada para kudus. Peringkat 1 Bunda Maria. Peringkat 2 St. Yohanes Pembaptis. Peringkat 3 Santo Fransiskus Xaverius, dan seterusnya. [Tentunya ini bukan suatu standar penilaian yang universal sehingga semua orang dapat terpengaruh dan menilai macam-macam. Peringkat ini juga tidak dimaksudkan bahwa para kudus saling berkompetisi, atau yang ini lebih suci dari yang itu. Ini hanyalah pemikiran "lepas", suatu refleksi personal, seorang pembina yang berinisatif menjelaskan nilai-nilai iman dalam ranah yang lebih sederhana dan menarik.]

Dan memang kalau ditimbang-timbang, Santo Yohanes Pembaptis pantas diletakkan posisinya setelah Bunda Maria. Ia bukan saja kerabat Yesus yang paling dekat (Elisabet, ibu Yohanes adalah saudari Bunda Maria, ibu Yesus Kristus), tetapi juga seorang Nabi Perjanjian Lama yang terakhir. Ia adalah Nabi terakhir yang mempersiapkan kedatangan Nabi paling agung: Yesus Kristus. Ia makan belalang, minum madu. Berpakaian dari dedaunan dan kulit pohon. Sesekali mencari ikan di danau atau sungai yang membelah hutan. Ia adalah Nabi yang hidup secara asketis (jenis latihan rohani ekstrim dengan hidup berpuasa dan bermatiraga untuk mencapai kebijaksanaan rohani, hidup di daerah-daerah dengan suhu dan kondisi ekstrim: padang pasir, salju, lembah, tepi jurang atau puncak gunung). Ia melupakan keluarganya sendiri dan pergi mewartakan Allah, mewartakan pertobatan dan membaptis orang. Ketika ditanyai orang siapakah dia, ia justru mengidentikkan dirinya dengan "suara yang berseru-seru" di padang gurun. Tidak waraskah Yohanes? Tidak! Dia orang pandai.

Yohanes menghabiskan masa mudanya dengan menjadi anggota sebuah komunitas biara yang mengkhususkan diri untuk mempelajari, menuliskan dan menyusun kembari daftar Kitab Suci Perjanjian Lama (kanonisasi), komunitas biara Qumran yang hidup berakese. Yohanes mengidentikkan dirinya dengan "Singa Yehuda" yang suaranya mengalahkan badai padang pasir, berteriak keras kepada orang lain bahwa, bertobatlah karena Allah kini telah menjadi manusia. Ia menyuruh murid-muridnya untuk mengikuti Yesus, "Lihatlah, Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia." Ia memahami Kitab Suci dengan benar: para murid kini mengerti, Yohanes mengutip Kitab Keluaran, ketika darah anak domba menjadi tanda keselamatan di ambang pintu rumah orang Israel. Cara hidup yang keras, membuat kepalanya juga keras, watak dan keinginan sekeras wadas, kata-katanya semurni aliran sungai, dan kritiknya sekeras tamparan gelombang di tepi pantai. Ia mengatakan tanpa selubung. Ia memberitakan kebenaran dengan lantang dan garang. Ia meneriakkan kebenaran dari atas bukit-bukit batu yang terlebih dahulu menjadi mempraktekkannya. Ketidakadilan ia sikat habis-habisan. Ia alergi terhadap dosa keserakahan dan kerakusan. Pada akhirnya, ia wafat karena kebenaran yang sudah lama menjadi dasar hidupnya. Ah, Santo Yohanes Pembaptis, engkau memang ada pada peringkat kedua setelah Sang Bunda Allah. Tetapi engkau sebenarnya peringkat pertama teladan pembela kebenaran dan keadilan. (Fr. Nifmasken).

Sumber: