Ada dua orang dari murid-murid Yesus pergi ke sebuah
kampung bernama Emaus (Luk. 24:13). Di tengah jalan mereka didatangi oleh Yesus
dan bercakap-cakap dengan mereka tetapi mereka tidak mengenalNya. Mereka
mengenal Dia waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap
berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka (Luk. 24:30).
Dua murid itu mengalami lagi apa yang diperbuat oleh Yesus pada perjamuan malam
terakhir. Itulah Ekaristi kudus, persembahan diri Kristus (tubuh dan darahNya)
bagi Gereja dan semua orang.
Catatan tentang
Emaus (Jost Kokoh – Xxi, Interupsi)
Emaus kadang disebut sebagai “dusun” yang letaknya kira-kira
11 km dari kota Yerusalem. Kerap kali (walaupun sebetulnya tidak tepat)
lokasinya disamakan dengan Emaus yang disebut dalam 1 Mak. 3:40-57; 4:3; 9:50. Di
situ pada tahun 166 sM terjadi kemenangan perlawanan Yudas Makabe terhadap
kekuasaan asing. Di Emaus inilah, “ketika Yesus memecah-mecahkan roti”
(Ekaristi), barulah kedua murid itu “sembuh”: mengenali siapa sesungguhnya
orang yang menyertai mereka saat di jalan. Baru pada saat itulah mereka
menyadari sepenuhnya bahwa orang itu sama dengan Dia, yang dalam Perjamuan
Malam (Luk. 22:16 dan 18) mengatakan tidak akan makan dan minum lagi saat
Kerajaan Allah betul-betul datang. Mereka berdua mengalami bahwa kini “Yang
Ilahi” bisa benar-benar hadir di tengah-tengah “yang insani”, secara khusus
lewat peristiwa Ekaristi. “Tidakkah hati kita berkobar-kobar ketika ia
berbicara dengan kita di tengah jalan?” (Luk. 24:32).
Emaus meninggalkan cerita unik tentang Yesus dan dua
muridNya itu. Ia meninggalkan cerita “pemecahan roti” yang dibuat oleh Tuhan
sendiri. Ada hubungan erat antara peristiwa perjamuan malam terakhir dan peristiwa
Emaus. Pemecahan roti menjadi penghubung, bahwa tindakan Yesus di Emaus itu
sama dengan tindakan perjamuan malam terakhir. Pada perjamuan malam terakhir,
Tuhan sendiri menyerahkan tubuh dan darahNya kepada para Rasul. Ia melakukan
hal yang sama di Emaus sebagai suatu pengulangan, bahkan bisa dikatakan sebagai
‘pengingat’ bagi kedua murid itu. Ini juga penegasan bagi kedua murid bahwa
pemecahan roti adalah khas Yesus, karena Ia memberi kepada murid-muridNya tubuh
dan darah. Karena khas, maka murid-murid itu mengenalNya.
Tindakan penyerahan diri Yesus ini sekaligus menjadi
sumber dan puncak hidup Gereja. Orang Kristen mengalihkan tradisi Yahudi, kebiasaan
berkumpul di Bait Allah kini dirayakan di rumah-rumah masing-masing. “Mereka
bertekun dalam pengajaran Rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu
berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Dengan bertekun dan dengan sehati
mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di
rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan
tulus hati” (Kis. 2:42.46). Dan memang benar bahwa warga Kristen biasanya
berkumpul “pada hari pertama dalam minggu”, artinya pada hari Minggu, hari
kebangkitan Yesus, “untuk memecahkan roti” (Kis. 20:7). Sampai sekarang
perayaan Ekaristi dilanjutkan dengan cara yang sama, sehingga dewasa ini ia
ditemukan di mana-mana di dalam Gereja dengan karangka dasar yang sama. Ia tetap
merupakan inti kehidupan Gereja, (KGK 1343). (Fr. IEF).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar