Renungan Rabu, 11 Mei
2016
Hari Biasa Pekan
VII Paskah
Warna Liturgi Putih
Lima tahun
terakhir ini media massa menyiarkan banyak berita tentang kekerasan. Perilaku
kekerasan atas nama agama mendominasi pemberitaan baik secara nasional maupun
internasional. Selain itu berita pembunuhan dan pemerkosaan silih berganti
menjadi seperti makanan sehari-hari. Khususnya di Indonesia, kita sedang
menyaksikan suatu zaman baru kehancuran idealisme Ketuhanan sedang goyah dan
kemanusiaan terluka parah. Penghayatan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa,
khususnya Sila I dan Sila II, bagaikan menguap begitu saja. Banyak orang
beragama dan beriman, tetapi hanya segelintir yang memahami dengan benar siapa
itu ‘Tuhan’ dan sesama ‘manusia’. Sementara kita melihat manusia ‘menggunakan
Tuhan’ membantai sesamanya, muncul pertanyaan: ‘Apakah manusia benar-benar
mengenal Tuhan?’
Bacaan Injil
(Yoh. 17:11b-19) hari ini masih menyajikan doa Yesus untuk para
murid-Nya. Pokok doa Imam Agung ini
ialah agar para murid mengenal Allah
Bapa dan Yesus sendiri (ay. 3) serta menjadi
satu sebagai murid-murid-Nya (ay.11b). Bagi Yesus, pengenalan
akan Allah dan usaha untuk menjaga persatuan antar sesama manusia merupakan
suatu kewajiban kehidupan. Dua hal ini harus terus menerus diusahakan oleh
setiap manusia. Justu dalam seluruh hidup dan karya-Nya Yesus telah menunjukkan
dengan jelas bagaimana menjalin relasi dengan Allah dan sesama manusia.
Pagi-pagi Ia telah bangun dan pergi ke tempat sunyi dan terpencil untuk berdoa.
Setelah itu Ia berkhotbah, mengajar, berjalan kemanapun sepanjang hari sambil
berbuat baik. Proklamasi diri-Nya juga berisi dua hal penting ini: “Roh Tuhan
ada pada-Ku,…” dan misi-Nya untuk manusia “…menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang miskin, pembebasan orang-orang tertindas dan tertawan, penglihatan
bagi orang buta” (Luk. 4:18-19) Karena itu, doa Yesus kepada murid-muridnya
merupakan pengejahwantahan persatuan-Nya yang erat dengan Allah Bapa. Yesus
menggabungkan para murid-Nya dengan ‘keluarga Allah’. Yesus menghendaki agar
anugerah pengenalan akan Allah menjadi keseluruhan kehidupan para murid-Nya,
yaitu mengenal Sang Kebenaran dan dikuduskan di dalam Kebenaran itu (Yoh.
17:17).
Isi kebenaran
sebenarnya ialah ketidaktersembunyian. Seseorang yang mewartakan kebenaran tidak
menyembunyikan apapun, mengatakan kejujuran dan rela berkorban demi kebenaran
tersebut. Dalam keseluruhan hidupnya, para murid hidup seperti Yesus sendiri,
Sang Kebenaran. Mereka telah mengenal-Nya dengan baik dan mewartakan-Nya lewat
cara hidup, pewartaan sabda dan perbuatan-perbuatan baik. Kasih menjadi pokok
pewartaan para murid. Keseluruhan hidup mereka dipersembahkan hanya untuk
kepentingan Kerajaan Allah dan supaya Yesus dapat dikenal oleh siapapun. Para
murid berani bersaksi tentang Yesus, karena mereka telah mengenal-Nya
sedemikian baik. Meskipun kebanyakan dari para murid mengalami akhir hidup yang
tragis, meninggal sebagai martir, namun kesaksian hidup mereka yang tanpa cela
telah menjadi identitas baku bahwa mereka berasal surga, persis seperti yang
didoakan Yesus.
Bagaimana
dengan sikap kehidupan kita? Kita menyaksikan terjadi begitu banyak kejahatan
karena kurangnya pengenalan akan Allah yang benar. Kita harus bergerak
mewartakan Allah agar setiap orang tidak hanya sekedar tahu melainkan sungguh-sungguh
memiliki pengenalan yang mendalam akan Allah. Mari kita mulai dari diri
sendiri. Wartakan Allah melalui kata-kata dan perbuatan baik. Mari mencontohi
hidup Yesus dan para murid-Nya. Dan dengan hati penuh pengampunan kita selalu
mendoakan para pelaku kejahatan. Mari mohon supaya Roh Kudus menguatkan kita
sehingga kasih Kristus menjadi gada bagi kita menghancurkan sikap-sikap buntu
untuk mengenal Allah. Mari membakar dunia dengan kasih Kristus. (Fr. AL).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar