Jiwa yang Menyesal



Renungan Sabtu, 05 Maret 2016
Hari Biasa Pekan III Prapaskah (U)
BcE Hos. 6:1-6; Mzm. 51:3-4, 18-19, 20-21ab; Luk. 18:914)


Kehidupan manusia kadang atau bahkan selalu dihinggapi dengan rasa tidak ingin mengalah. Semua hal dibuat agar mendapat sesuatu yang bernilai dalam hidupnya bahkan tindakannya itupun seakan-akan dipamerkan agar Tuhan pun menganggapnya sebagai orang yang baik dan setia. Namun percayalah bahwa tidak ada manusia yang sempurna ketika ia berdiri di hadapan Tuhan. Tuhan tahu apa yang dibuat oleh manusia. Tuhan tahu apakah perbuatannya adalah  perbuatan yang tulus ataukah untuk mencari kedudukan serta pujian dari orang lain. Dari perbuatannya itu ia seakan tidak lagi menganggap orang lain sebagai sesamanya melainkan sebagai musuh atau tandingan dalam hidupnya.

Perumpamaan tentang dua orang yang datang berdoa di Bait Allah hendak menunjukkan kepada kita bahwa doa orang farisi merupakan sebuah keangkuhan diri. Ia menyebutkan semua perbuatan baiknya kepada Tuhan dengan sebuah harapan bahwa Allah akan mendengar dan membenarkan dia di hadapan orang yang berdosa. Maksud dari doa seperti inilah tidak akan pernah dibenarkan di hadapan Allah karena ia hanya mencari keuntungan diri sendiri. Lain halnya dengan orang berdosa. Ia takut memandang Allah karena merasa berdosa dan merasa tidak layak mendapat kasih dan pengampunan dari Allah sendiri. Oleh karena itu, yang dapat ia lakukan adalah berseru kepada Tuhan. “Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini”. Sungguh, sebuah doa dari jiwa yang menyesal. Oleh karena itu, kasih Allah benar-benar berpihak pada orang yang sadar akan kekurangan dirinya seperti yang dikisahkan dalam Injil. Allah sebenarnya tidak membutuhkan perbuatan manusia yang tidak dialaskan dengan kasih dan ketulusan hati. Yang Allah butuhkan adalah tindakan kasih serta doa yang berasal dari jiwa yang menyesal. (Fr. Frits Frawowan)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar