Rendah Hati untuk Mendengarkan



Kamis, 1 September 2016 (Hari Biasa)
BcE 1Kor. 3:18-23; Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6; Luk. 5:1-11.
BcO 2Tim. 2:1-21 Warna Liturgi Hijau


Rasul Petrus dan kawan-kawan mengalami hari yang benar-benar buruk. Sepanjang malam mereka bekerja keras menjala ikan tanpa hasil. Perintah Yesus pada besok harinya "Bertolak ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan" seakan-akan hendak menggurui Petrus. Mana mungkin putera tukang kayu dari Betlehem mengetahui tempat ikan bersarang? Jawaban bagian pertama Petrus seolah-olah mewakili kekecewaan manusia zaman ini yang bekerja keras tanpa hasil: "Guru telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa." Namun Petrus, lelaki 'batu karang', kekar dan tegar itu ternyata memiliki pribadi yang dikuasai oleh sikap "rendah hati" dan mau "mendengarkan" Yesus. Dan Jawaban bagian kedua Petrus merupakan ketaatan yang mendatangkan hasil yang berlimpah.

Seringkali kita bekerja dengan sedemikian keras, giat dan ulet, namun tak membuahkan hasil. Kalaupun kerja itu berbuah, maka tidak maksimal. Lalu kita tercebur dalam kekecewaan, rasa jengkel, dan sering mudah marah, bahkan sampai pada sikap putus asa. Namun perintah Yesus sebenarnya menyadarkan kita untuk lebih "rendah hati", menundukkan kepada, mencondongkan telinga dan "mendengarkan" apa rencana ilahi di balik setiap kegagalan. Kita mungkin berdoa sebelum pergi bekerja, rajin mengikuti Misa pagi, giat bernovena atau berdevosi, dan melakukan silih atau matiraga untuk pengabulan suatu maksud khusus. Namun, apakah kita sudah sungguh-sungguh mengetahui dengan persis Sabda Tuhan untuk kehidupan kita? Jangan-jangan Tuhan sudah berbisik, "Anak-Ku, kamu menjala ikan di tempat yang dangkal" namun kita ternyata tuli. Dan kita berputar-putar di sekitar area iman yang dangkal.

Kendangkalan iman itu tampak dalam banyaknya praktek doa yang seolah-olah "memaksa Tuhan" untuk mengabulkan sesuatu. Kita harus sadar bahwa cinta kepada Tuhan-lah yang harus mendorong kita untuk berdoa. Berdoa bukan untuk memaksa Tuhan memuluskan segala sesuatu. Kita bukan "peminta-minta spiritual", yang datang ketika butuh sesuatu dan menghilang ketika kebutuhan terpenuhi. Berdoa merupakan daya roh yang membuat kita untuk berpasrah pada kehendaknya.

Apa yang harus kita lakukan? Bukalah telinga (dan) hati untuk mendengarkan Sabda-Nya. Sediakan waktu yang (lebih dari) cukup untuk merenungkan apa maksud Tuhan untuk kehidupan ini. Bulan Kitab Suci Nasional menjadi kesempatan emas untuk "bertolak ke tempat yang dalam" bersama Tuhan. Jangan menyibukkan diri untuk berbicara terlalu banyak kepada Tuhan. Tenang dan heninglah lebih banyak. Biarkanlah jiwa kita mendengarkan suara-Nya. Percayalah, Tuhan tahu ke mana arah perahu kehidupan kita. Pada akhirnya, orang-orang yang mengikuti perintah Tuhan adalah orang-orang yang berhasil dalam kehidupannya meskipun kegagalan menghadang. Siapa mereka? Lihat dan teladanilah para kudus.
(Fr. Nifmasken).

Kuncinya, Satu dengan Bapa di dalam Doa



31 Agustus 2016 (Hari biasa)
BcE 1Kor. 3:1-9; Mzm. 33:12-13,14-15,20-21; Luk. 4:38-44.
Warna Liturgi Hijau

Yesus membuat mujizat lagi! Kali ini, Yesus menyembuhkan ibu mertua Simon (Rasul Petrus) dari sakit demam keras. Berita mujizat itu tersebar. Dan ketika matahari terbenam (malam hari), banyak orang datang kepada Yesus dan membawa kaum keluarganya yang sakit. Yesus menyembuhkan mereka semua dengan meletakkan tangan atas mereka masing-masing. Ia juga mengusir setan-setan keluar dari orang-orang itu. Setan-setan itu berteriak kepada-Nya, "Engkau Anak Allah", dan lari tungganglanggang karena Yesus melarang mereka berbicara.

Yesus baru mulai beristirahat dari pekerjaan menyembuhkan itu pada siang hari, besoknya. Bayangkan, Yesus bekerja sepanjang malam! Ia tidak menolak seorangpun yang datang kepada-Nya memohon kesembuhan. Namun setelah bekerja sepanjang malam, Yesus selalu memiliki waktu untuk beristirahat. "Tempat yang sunyi" merupakan salah satu pilihan favorit-Nya selain "tempat yang tinggi", "bukit", "gunung," atau suatu "jalan mendaki" yang jauh dari pekerjaan "di bawah". Inilah ciri khas Yesus. Selalu ada banyak waktu untuk bercengkrama dengan keheningan, kesunyian, yang mana Ia dapat berdoa, berkontemplasi, dan bercakap-cakap dengan Bapa-Nya. Intensitas waktu "ilahi"-Nya tidak kurang dari intensitas waktu "insani"-Nya. Malahan dalam Lukas 6:12 dikatakan bahwa, "Yesus naik ke bukit untuk berdoa, dan di sana Ia berdoa kepada Allah sepanjang malam."

Itulah sebabnya karya-karya Yesus selalu mengherankan, penuh keajaiban dan mujizat. Bahkan para Rasul, murid-murid, orang banyak, dan setan sekalipun mengakui ke-Allah-an-Nya, karena Yesus selalu "menjaga kesatuan yang erat" dengan Allah.

Kitapun dapat bertumbuh dalam iman dan karya-karya belas kasih. Bahkan karya-karya itu dapat berbuah lebat hanya kalau Allah-lah yang memberi pertumbuhan. Sia-sialah kita menanam, memberi pupuk dan menyirami bibit-bibit kebaikan kalau Allah tidak menganugerahkan pertumbuhan. Kita harus meneladani Yesus yang memiliki karya-karya hebat dan berbuah lebat dengan pertama-tama bersatu dengan Allah setiap hari (melalui Ekaristi dan pengakuan dosa), berpasrah kepada Allah (memiliki waktu yang lebih dari cukup untuk berdoa), selalu setia mendengarkan Sabda-Nya (membaca dan merenungkan Kitab Suci) dan giat melakukan kehendak-Nya (karya-karya karitatif). Rasul Paulus mengingatkan kita, "...yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan." (1Kor. 3:7) Kita hanya dapat bertumbuh dan berbuahkan kasih hanya jika kita ada dalam persatuan dengan Allah yang adalah kasih. Salam damai.
(Fr Nifmasken).